
Neurologi Bercerita, Storytelling With Data
Menyimak penuturan para pemerhati dan pakar cerita— Paul J Zak, Cole Knafflic, Dr Herbowo Soetomanggolo, David J Phillips, Nancy Duarte dll, saya jadi paham mengapa banyak orang terhanyut oleh cerita, cerita punya kekuatan—kita seolah terprogram untuk mendengar cerita.
“The stories we tell literally make the world. If you want to change the world, you need to change your story.”
— Michael Margolis
Menurut seorang analis cerita, Lisa Cron dalam bukunya “Wired for Story”, bagian otak yang memproses penglihatan, suara, rasa dan pergerakan—menjadi aktif ketika seseorang mendengarkan cerita, setiap orang di planet bumi ini seperti punya DNA cerita.
Dibanding mendengarkan seseorang menyajikan modul dan bab dalam presentasi, mendengarkan cerita itu lebih menyenangkan. Melihat bullet-point presentation-hanya akan mengaktifkan bagian otak yang berhubungan dengan pemrosesan bahasa, sedangkan bila kita mendengarkan cerita, setidaknya 4 (empat) bagian otak menjadi aktif!
Ketika seseorang mendengar cerita, otak melepas hormon dopamin dan oksitosin. Hormon dopamin mengatur perubahan emosi sedangkan oksitosin berhubungan dengan empati dan kegembiraan. Selain dopamine dan oksitosin, otak juga melepaskan hormon kortisol yang berhubungan dengan kewaspadaan.
Hanya ketika mendengar cerita otak kita aktif secara fisik dan emosi, jantung Anda tidak akan berdebar-debar, stres meningkat–hanya dengan hanya melihat slide di presentasi seseorang.
Salah satu penyebab mengapa cerita ‘mengikat’ audiens-nya-khususnya pada cerita-cerita yang ‘bagus’, adalah bahwa cerita mempunyai elemen misteri (salah satu unsur penting cerita), misteri tidak harus sesuatu yang menyeramkan, tetapi sesuatu yang membuat ‘pembacanya’ penasaran, hormon Dopamin yang dilepaskan oleh otak ketika sebuat cerita tiba-tiba terhenti belum tuntas.
Dalam studi yang dipublikasikan pada Februari 2021 oleh The Ohio State University dan University of Oregon, aktivitas otak ketika membaca cerita menarik menjadi lebih aktif. Para peneliti melihat kinerja otak penggemar serial HBO “Game of Thrones” saat menghubungkan antara karakter dalam cerita dengan diri sendiri.
Hasilnya, orang yang terhanyut dalam cerita GoT memiliki aktivitas otak lebih aktif. Terutama, pada saat melakukan refleksi diri berkaitan dengan karakter favorit mereka.
Para peneliti meminta partisipan mengurutkan siapa di antara sembilan karakter yang dinilainya paling dekat dengan dirinya. Skalanya mulai dari 0 hingga 100. Reaksi yang menjadi sorotan adalah ketika kesembilan karakter itu terbunuh.
Kemudian, peneliti memindai aktivitas otak dengan mesin khusus. Terlihat ada perubahan aliran darah yang menandakan aktivitas otak. Fokusnya terutama pada ventral medial prefrontal cortex, bagian otak yang aktif ketika seseorang memikirkan dirinya dan orang-orang terdekatnya.
Setelah menyelesaikan sebuah cerita—baik itu melalui membaca, mendengar atau menonton, seseorang masih teringat dengan pesan-pesan penting yang disampaikan oleh salah satu atau beberapa tokoh yang ada–Untuk anak, seringkali pesan-pesan itu menjadi pengingat untuk berbuat kebaikan, lebih mendengarkan orangtua dan sejenisnya. Ini karena banyak bagian dari otak yang aktif, dan pelepasan hormon-hormon bekerja sama, memberi dampak.
Di kanal YouTube-nya, David J Phillips menuturkan dengan sangat mengesankan bagaimana cerita dapat merubah perilaku seseorang. David menjelaskan bagaimana banyak orang setelah menonton cerita film James Bond, ingin menjadi seperti Bond, keluar dari bioskop berjalan tegap menirukan gaya Bond, membeli jam tangan Omega Seamaster, mengenakan dan bangga karena mirip Bond, ‘feeling more like Bond’.
Ketika seseorang terhubung dengan tokoh dan karakter pada cerita, otak mengeluarkan hormon oksitosin- yang juga dikenal dengan “bonding hormone” walaupun dia tidak punya ikatan, tidak pernah berjumpa dengan orang/ tokoh tersebut.
Apakah perbedaan antara Data Storytelling dan Data Visualization?
Fakta hanya menyajikan data; sedangkan, narasi cerita menyediakan konteks, yang menambah pemahaman kita dan mendorong wawasan berharga. |
Data Storytelling lebih menjawab pertanyaan Mengapa data itu ada sedangkan Data Visualization menjawab Apa tentang data tersebut.
Data storytelling merupakan hasil narasi yang menempatkan data sebagai konteks utama, dan Data Visualization adalah visual yang berupa diagram dan charts yang digunakan untuk mempertegas narasi atau cerita.